Senin, 23 Maret 2015

Budaya Korporasi

"An atmosphere of ferment and innovation."

Itu pemikiran David Ogilvy saat mendirikan Ogilvy & Mather. Apa sebetulnya esensi ungkapan Ogilvy itu? Ia mengaitkannya pada sebuah cita-cita tentang atmosfer, ambience, sampai penjiwaan yang menyenangkan saat membangun sebuah perusahaan. Inilah yang lantas dijabarkan sebagai satu bentuk budaya korporasi atau secara keilmuan dipahami sebagai budaya organisasi.

 
Sedikit kembali ke bangku kuliah, Anda mungkin ingat satu peranakan teori Ilmu Komunikasi yang disebut budaya organisasi. Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo dalam buku Introducing to Communication Theory (2009) menjelaskan budaya organisasi sebagai cara hidup di dalam suatu organisasi (korporasi termasuk dalam bentuk organisasi). Cara hidup di sini mencakup iklim atau atmosfer emosional dan psikologis yang berdampak langsung pada produktivitas perusahaan, performa karyawan, sampai bagaimana sebuah sistem dianut dan dilanggar oleh setiap individu yang berhubungan dengan perusahaan.


 Terdengar sangat teoritis, bukan? Tapi itulah yang sewajarnya diketahui kalangan profesional dalam membina hubungan antar individu dalam suatu perusahaan. Setiap organisasi pasti memiliki sistem yang diterapkan dalam sebuah struktur. Dari CEO sampai staf admin memiliki fungsi dan peranan masing-masing yang harus bersinergi dalam rangka mencapai visi dan misi perusahaan. Satu yang harus dipahami oleh setiap pengusaha dan pekerja, budaya dalam sebuah korporasi bukanlah wujud legitimasi atasan kepada bawahan.

Budaya dalam korporasi memang diciptakan oleh para founder yang lazimnya berupa norma-norma bernilai positif dan harus dipatuhi oleh setiap karyawan. Tidak mungkin ada perusahaan yang memiliki budaya “CEO adalah Tuhan, setiap perkataan dan perbuatannya adalah hidup dan mati kalian” (jika memang ada, siaplah Anda undur diri). Budaya dalam sebuah korporasi harus layak untuk dijalani oleh setiap elemen yang bersangkutan, jika standar yang dimiliki serupa dengan romusha jelas itu tindak kriminal.

Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior: Concepts Controversies Applications (1996) mengatakan jika salah satu fungsi budaya dari sebuah organisasi adalah perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar yang layak untuk dipatuhi. Sekali lagi, kata layak di sini bukan hanya atas dasar pemikiran petinggi perusahaan, layak terjadi karena kesepahaman seluruh pihak yang terkait dengan perusahaan. Anda tentu tahu, budaya dalam sebuah korporasi tentu erat dengan paham demokrasi. Sudahkah paham tersebut dijalani? Jika tidak, pemimpin perusahaan Anda wajib mengetahui setinggi apapun suatu organisasi, suara tertinggi milik bersama. Kecuali Bos perusahaan Anda menganut paham sosialis, silahkan baca buku mengenai Marxisme.
 

Presiden yang notabene adalah pemimpin suatu negara, bisa didepak dari jabatannya melalui impeachment alias diberhentikan oleh dewan perwakilan rakyat. Begitu juga CEO, yang mungkin menelan pil pahit menghadapi pemecatan dari para komisaris atau pemegang saham. Mungkinkah hal ini terjadi dalam perusahaan Anda? Tergantung bagaimana roda perusahaan Anda berjalan. Atmosfer yang diciptakan antara atasan dan bawahan harus selaras sehingga para karyawan terpacu meningkatkan produktivitasnya.

Apakah performa merupakan tanggung jawab langsung pemimpin perusahaan atau tanggung jawab seluruh jajaran? Profesor James Hardiman dari Studi Permahaman Organisasi dan Etika Kerja di Universitas California tahun 2008 memberikan gambaran atas apa yang ia sebut sebagai “cacat budaya” dalam sebuah perusahaan:

- Tingkat turnover tinggi. Profesor Hardiman dalam logikanya menghubungkan angka turnover karyawan dengan kesalahan budaya yang dianut dalam sebuah perusahaan. Jumlah karyawan yang masuk dan keluar berbanding terbalik dengan performa perusahaan. Makin tinggi angka turnover, makin anjlok produktivitas perusahaan.

 - Kepuasan karyawan berbanding terbalik dengan janji perusahaan. Sebagai karyawan, Anda mungkin memiliki ekspektasi tersendiri setelah mencurahkan tenaga dan pikiran bagi kemajuan perusahaan. Sayangnya, ekpektasi Anda dibayar dengan ‘pepesan kosong’ oleh perusahaan. Kekecewaan timbul akibat iming-iming pihak perusahaan kepada karyawannya yang tidak dapat direalisasikan dan hal ini dikatakan Profesor Hardiman akan berdampak langsung pada motivasi kerja.

- Key Performance Indicator bukan senjata untuk saling menjatuhkan. Profesor Hardiman merujuk pada satu kasus di PetroChina, di mana puluhan staf dari sektor lapangan menuntut petinggi perusahaan minyak raksasa milik Cina tersebut karena menyabotase KPI yang diklaim sebagai penyebab turunnya produksi minyak mentah hingga 28% tahun 2006. KPI adalah ‘harga diri’ yang  tertulis serta menjadi dasar penilaian atas hasil kinerja karyawan. Lebih lanjut Profesor Hardiman mengingatkan bagi kalangan eksekutif untuk tidak ‘bermain api’ dengan KPI karena dapat menjadi bumerang yang justru akan menghancurkan kredibilitas perusahaan baik di lingkungan internal maupun eksternal.

- Rewards tanpa basa-basi. Inilah satu poin yang menarik, rewards menurut Profesor Hardiman tidak selalu berbentuk barang atau bonus pada periode tertentu. Yang dimaksud rewards di sini adalah penghargaan dalam arti kata sesungguhnya. Rasa menghargai atas hasil kerja antara pimpinan dengan karyawan dan sebaliknya akan menimbulkan timbal balik positif. Pimpinan yang haus kehormatan atau karyawan yang banyak menuntut namun melalaikan kewajiban dipastikan tidak akan menciptakan sinergi budaya korporasi yang dinamis.

 Sudah paham akan pentingnya budaya dalam sebuah perusahaan? Kini keputusan ada di tangan Anda. Jika Anda seorang pimpinan, maka wajib hukumnya untuk lebih meningkatkan kepekaan sosial bagi karyawan. Peka sosial bukan berarti royal macam raja minyak yang selalu menyawer hadiah (bagus kalau bisa seperti itu), tapi memahami bagaimana menciptakan suasana kerja yang kondusif sehingga karyawan akan semakin respect dan memacu performa perusahaan lebih baik lagi.

Jika Anda duduk sebagai karyawan, tugas dan kewajiban yang telah dipatenkan dalam SOP (Standard Operating Procedure) wajib untuk dijalani. Jika pimpinan menginginkan Anda untuk demokratis, tunjukkan sikap demokratis yang bertanggung jawab. Benturan yang sering terjadi dalam lingkup profesionalitas kerja adalah satu hal yang wajar, namun sikap dewasa tanpa perlu mendramatisir keadaan perlu Anda camkan agar identitas kebersamaan untuk mencapai visi dan misi perusahaan dapat tercapai. Remember, management is nothing more than motivating other people!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar