Senin, 30 Maret 2015
Success is not final, failure is not fatal
Lucu memang, tapi baru saja beberapa hari yang lalu saya menjenguk seorang teman yang sedang dirawat di rumah sakit. Bukan bermaksud menertawakan teman yang sedang terkena musibah, namun tertawaan itu lebih saya tujukan bagi diri sendiri. Sambil terkapar lemas karena sakit tifus, teman saya tadi bercerita jika memang ia sedang dilanda stres yang luar biasa. Ia gagal mengeksekusi suatu proyek besar dan merasa tertekan karena dituding merugikan perusahaan hingga miliaran Rupiah. Apalagi yang bisa saya berikan kecuali dukungan moral, bersabar, dan cepat sembuh. Dalam perjalanan pulang, saya cukup termenung dengan obrolan bersama teman yang sedang jatuh sakit.
Gagal. Satu kata yang mungkin memuakkan untuk didengar. Semakin bertambah usia, kata yang harus sering-sering saya telan pasti tidak jauh dari segala macam bentuk kesuksesan. Achievement apa yang sudah diraih, prestasi apa yang sudah ditorehkan, bagaimana proyeksi masa depan, ini dan itu. Lantas kemudian di tengah jalan menggapai kata sukses itu, Anda harus dihadapkan dengan suatu kegagalan. Bagaimana Anda menyikapinya? Mengelus dada, atau menikmati keterpurukan itu? Well, setiap manusia pasti mempunyai cara masing-masing dalam menghadapi kegagalan. Saya yakin dari cara yang paling smooth sampai paling ekstrem pun ada.
Jika mau menggunakan rasa manusiawi, rasanya kegagalan itu adalah rasa pahit yang memang harus dirasakan setiap manusia. Gagal itu adalah kesuksesan yang tertunda, kata pepatah zaman dulu seperti itu. Saya pun muak mendengar kata-kata itu sampai saya mencoba memahaminya dengan buah pikir paling sederhana dalam kemanusiaan saya. Saya memang harus gagal untuk tahu apa artinya sukses. Rasanya, orang sesuci apa pun, semua pernah merasakan yang namanya gagal. Kalah dalam perang, kalah dalam tender besar, gagal melobi orang-orang penting, gagal mengajukan kenaikan gaji, sampai gagal mendapatkan cinta wanita yang disukai. Itu biasa, dan itulah hakekat hidup sebagai manusia.
Sekian lama menjalani kehidupan, saya pun sudah merasakan sekian banyak kegagalan. Gagalnya pun macam-macam, dari urusan keluarga, pendidikan, karier, sampai finansial. Tapi itulah yang menurut saya menjadikan saya manusia seutuhnya. Dalam tulisan ini, setidaknya saya mencoba untuk berbagi apa yang saya pahami mengenai suatu kegagalan.
The brick walls are there for a reason
Anda mungkin pernah merasakan di mana situasi begitu menjepit diri kanan kiri depan belakang. Anda tidak tahu harus berbuat apa, yang Anda tahu semuanya menekan Anda. Dalam analogi saya, kegagalan itu adalah sebuah tembok yang akan membuntukan Anda dalam meraih kesuksesan. Di balik tembok itulah kesuksesan itu ada (menurut Anda). Tapi apa betul kesuksesan itu pasti ada di balik tembok yang membuat Anda jatuh depresi? Bisa ya, bisa juga tidak.
Semuanya kembali pada perspektif Anda. Saat Anda merasa jatuh dan terbentur dalam tembok kegagalan, cobalah untuk menengok ke belakang. Bisa jadi, saat Anda mengalami kemunduran, saat itulah Anda siap untuk melompat lebih jauh mendobrak tembok kegagalan itu. Kata orang jangan pernah menengok ke belakang dan terus optimis melihat ke depan. Maaf, ungkapan itu kadang tidak berlaku bagi saya. Karena dengan berjalan mundur, saya tahu jika mungkin saya telah melupakan beberapa kesempatan emas begitu saja dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi.
Fail again. Fail better
Nikmati kegagalan Anda setiap detik, setiap sakit yang Anda rasakan. Anda gagal mempertahankan hubungan dengan wanita yang dicintai? Anda gagal mewujudkan proyek besar yang sudah Anda presentasikan sedemikian rupa hingga mengundang decak kagum para atasan? Anda gagal membahagiakan orang tua Anda di hari tua mereka? Nikmati. Rasakan betul-betul jika kegagalan itu adalah cambuk yang harus Anda terima untuk menjadikan Anda manusia yang tahu diri. Apa gunanya menikmati kegagalan? Jelas, kebahagiaan setelahnya. Dari situlah Anda tahu saat gagal, jiwa dan pikiran begitu bersinergi menciptakan satu strategi untuk mencobanya lagi.
Anda menangis saat kegagalan itu di depan mata, sah-sah saja. Toh Anda bukan superhero yang bisa menggenggam dunia selamanya. Waktu berlalu, dan saat Anda bangkit kembali, semuanya yang akan Anda terima adalah senyuman dan kepuasan jika Anda berhasil melaluinya. Anda masih hidup, masih bernapas, dan kesempatan akan datang kembali untuk Anda kesekian kalinya.
People who avoid failure, also avoid success
Jujur saja, saat menjenguk teman saya yang sedang terkapar sakit tadi, saya sempat menanyakan satu hal yang mungkin tidak selayaknya saya tanyakan saat itu juga. "Loe enggak terima kalo loe gagal, sampai stres begini?", tanya saya. Dengan sedikit terdiam, ia pun mengakui jika ia begitu kecewa dengan kegagalannya. Begitu banyak ekspektasi yang sudah terbayang dalam benaknya, dan semuanya lenyap begitu saja. Saya pun pernah ada dalam posisi itu. Saat begitu menggebu ingin bergabung dalam satu perusahaan Public Relations agency ternama, dan ternyata saya gagal melalui tahap sesi wawancara. Merasa rendah diri itu pasti. Tapi akhirnya waktu juga yang membuat saya sadar bahwa tembok kegagalan yang membuntukan jalan saya itu bukan akhir dunia.
Sadar akan kegagalan itu penting dibanding terlena dalam kesuksesan. Coba perhatikan teman atau kolega di sekitar Anda, pasti semuanya begitu antusias saat menceritakan apa yang terlah berhasil diraihnya. Tapi pernahkah Anda berjumpa dengan orang yang begitu bangga dengan kegagalan yang pernah dialaminya? Camkan, jika Anda bertemu orang seperti itu, angkat topi dan berikan rasa salut bagi dirinya. Karena kelak, orang itulah yang akan menggenggam sukses dengan rasa syukur yang mendalam. So, who's with me?
sumber:talkmen.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar