Jumat, 24 April 2015

Because the nature of lies is to please

kebohongan memang identik dengan keburukan. Tapi apakah selamanya seperti itu?

"If you tell a big enough lie and tell it frequently enough, it will be believed."

Setidaknya itu kata seorang pemimpin yang begitu melegenda, Adolf Hitler. Begitu banyak pemikiran mengenai suatu kebohongan lantas dipersepsikan sebagai suatu perilaku yang buruk dan tidak dapat diterima kebenarannya. Entah dengan Anda, namun saya pun sering berbohong. Jangan kemudian persepsikan diri saya sebagai seorang penipu karena kebohongan yang saya lakukan menurut saya masih dalam batas kemanusiaan. Karena belum tinggal di surga, saya pun juga tak luput dari kebohongan. Hal sederhana saja, saat ingin bertemu dengan seorang teman, dengan kebohongan yang begitu cantik kemasannya saya percaya saja jika ia datang terlambat. Saya pun yakin Anda pernah mengalami situasi seperti itu.


Bohong, bohong, dan bohong. Dalam konsep pemikiran saya yang paling sederhana, kebohongan itu biasanya dilakukan demi menyelamatkan diri sendiri. Manusia memang diciptakan Tuhan dengan akal yang dapat dipergunakan sedemikian rupa untuk kemaslahatan hidupnya. Begitu juga dengan kebohongan. Lucu memang, tapi kemudian saya mengembangkan pemikiran sendiri jika kebohongan itu sebetulnya dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Lebih spesifik, sebut saja kebohongan itu ada yang merugikan, tapi ada pula kebohongan berbalut tenggang rasa. Dalam tulisan saya kali ini, kebohongan "putih" atau white lies begitu menarik perhatian.

Apa arti white lies bagi Anda? Kejam, penyelamat, atau menguntungkan? Tergantung cara pandang Anda masing-masing. Menyoal ini, saya punya sedikit pengalaman. Beberapa tahun lalu, saat nenek saya divonis mengidap kanker usus besar stadium lanjut, jelas hati saya dan keluarga sangat hancur. Yang ada di bayangan saya, penyakit ganas dalam stadium akhir sudah pasti tinggal meregang nyawa. Namun pandangan saya itu rupanya berbeda dengan ibu saya, yang memilih untuk memberitahukan nenek perkara penyakit yang dideritanya. Meskipun menjalani perawatan, tetap saja nenek saya tidak tahu-menahu mengapa ia harus menjalani perawatan secara intensif. Dalam kemasan "batu empedu", akhirnya nenek percaya saja apa yang dikatan ibu saya.

Sempat saya bertanya pada tim dokter yang merawat, mengapa mereka menyetujui kebohongan ibu saya tadi. Singkat cerita, dokter menjawab jika nenek saya diberitahu penyakit yang ada di tubuhnya, sangat besar kemungkinan penyakit itu akan semakin mengganas. Itu semua berhubungan dengan ketahanan mental seseorang, siap atau tidak menerima kenyataan. Seperti mukjizat, setelah lima tahun nenek saya tetap dalam keadaan sehat dalam ketidak tahuannya. Bagi saya, itulah white lies yang sangat berarti. Tapi bukan berarti kemudian bad lies bisa ditoleransi menjadi white lies. Di sini, sisi kemanusiaan Anda yang lebih ditekankan, kapan kebohongan itu harus dilakukan dengan tetap menjunjung kejujuran.

White lies, seni berbohong?

Bukan sama sekali. Kebohongan itu bukan sebuah seni, bagi saya hal itu lebih pada senjata pembelaan diri. Dalam ranah hubungan, seorang pria yang mencoba selingkuh pasti akan memutar otak untuk mengemas kebohongannya sedemikian rupa untuk menutupi kebusukannya. Soal white lies ini, contohnya cukup sederhana. Anda membohongi pasangan karena ingin menyiapkan suatu kejutan bagi dirinya. Namanya surprise, tentu harus mengesankan. Kemudian Anda berbohong ini dan itu, sampai akhirnya pasangan menjadi jengkel dan... tercengang sampai ia melihat sendiri effort yang sudah Anda lakukan. White lies dengan bad lies memang seperti tidak ada bedanya. Tapi coba lihat secara objektif, white lies biasanya dilakukan demi kepentingan bersama, sementara bad lies lebih pada kepentingan diri sendiri. Got it?

Pahami batas toleransi

Siapa yang suka dibohongi? Kecuali pecundang, tidak ada seorang pun yang mau menerima kebohongan begitu saja. Biar pun ditutupi dengan berjuta alasan manis, kebohongan adalah peluntur kredibilitas diri yang paling berbahaya. Namun lain saat Anda memang harus melakukan white lies. Pertama, bacalah situasi yang dihadapi, apakah perlu Anda berbohong 'demi kebaikan' atau tetap teguh pada kejujuran? Jika situasi tadi menuntut Anda untuk berbohong karena untuk kepentingan bersama, mengapa tidak? Jika ada orang masih berkilah bohong tetaplah bohong, jelas orang tersebut mungkin setengah malaikat yang selalu suci setiap saat. Rasanya, bahkan seorang ibu pun pernah melakukan white lies kepada anaknya. Who's with me?

At the end, the truth never lies

Ya, manusia memang cuma berusaha. Toh akhirnya waktu juga yang akan membuka semuanya. Tapi dalam tulisan ini saya bukanya mau membuat ribet soal white lies. Sebetulnya sederhana, white lies bisa menjadi bumbu-bumbu manis dalam kehidupan Anda. Terkadang white lies malah menjadi hal paling berkesan yang pernah dilakukan selama hidup Anda. Tak hanya itu, white lies dalam kapasitas kecil pun masih masuk dalam batas toleransi. Misalkan saat Anda telat saat menghadiri pertemuan, alasan 'sulit mencari parkir' menurut saya adalah salah satu white lies yang paling bisa diterima daripada terjebak kemacetan. Konsep inilah yang mungkin boleh Anda pegang dan tidak memanfaatkan batas toleransi untuk menyulap bad lies menjadi hal baik. Begitu pula dengan korupsi, alasan untuk membahagiakan keluarga rasanya alasan paling konyol karena telah mengorbankan hak jutaan warga... Ups!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar