Jumat, 03 April 2015

Sometimes, we have made ourselves weak

Dalam menjalani setiap roda kehidupannya, yang diinginkan manusia pasti kemudahan dan sukses menggapai tujuannya. Caranya pun macam-macam, ada yang menyukai cara instan, ada yang memilih untuk merintisnya pelan-pelan, bahkan ada juga yang tidak tahu harus memulai dari mana. Apalagi sebagai pria, hidup selalu bagaikan kompetisi dan saling berlomba menguasai ladangnya masing-masing. Waktu terus berjalan, ada yang berhasil merengkuh kesuksesannya, tapi sayang, ada juga yang terjebak dalam stagnasi berjalan di tempat tanpa arah. Kemudian muncul rasa kecewa dan kata-kata seperti, "Ah.. Ya sudahlah, lihat bagaimana besok saja...". Salah siapa?

Saya menuangkan ide tulisan ini bukan tanpa alasan. Baru beberapa hari yang lalu, saya merasa tertampar ketika sedang merenung di sudut rumah. Akhir pekan saya memilih untuk banyak berdiam di rumah karena aktivitas di luar pun terasa membosankan; duduk-duduk, mengobrol, makan malam, mal ke mal, that's it! Kali ini saya merasa tak perlu berkaca pada orang lain sebagai inspirasi hidup. Saya pikir, daripada repot-repot mengungkap kesalahan orang lain, saya pun juga layak untuk disodori kaca. Dan makin ke sini, saya sadar jika saya punya satu masalah yang selalu menjadi batu sandungan dalam hidup. The comfort zone.

Entah Anda sadar atau tidak, waktu memang tak kenal kompromi. Melesat bagai anak panah, tiba-tiba saya sudah hanyut penghujung tahun. Saya belum mau untuk membuat kaleidoskop tentang apa yang sudah saya raih, apa yang gagal, atau apa yang kurang. Begitu saya menoleh ke belakang, kata 'zona nyaman' itu bagaikan spanduk kampanye para badut politik... tong kosong nyaring bunyinya. Zona nyaman itu penyakit? Bagi saya betul, tak tahu dengan Anda. Alasan saya mengapa bisa menilai zona nyaman itu sebagai penyakit tentu telah melewati bermacam 'penelitian' dan uji coba.

Zona nyaman = malas?

Tidak sama. Rasa malas itu sifatnya tidak tetap dan bisa berubah saat seseorang menemukan mood booster yang bisa memacu dirinya bergerak kembali. Beda dengan comfort zone atau zona nyaman. Di mata saya pun comfort zone begitu bias, saya bisa saja tidak mau melakukan sesuatu bukan karena malas, tapi karena memang sikap penolakan. Mengapa saya menolak? Karena di mata saya hal itu buruk, tidak mengenakkan, bahkan bisa mengganggu stabilitas hidup. Itu yang namanya comfort zone!

Bandingkan dengan rasa malas; setiap malam saya malas membereskan pakaian yang habis dipakai bekerja, saya biarkan berantakan begitu saja di lantai, dan saya tidur. Besok paginya saat bangun, saya risih melihat pakaian bekas pakai yang bergeletakan dan saya bergegas membereskannya agar kamar saya kembali rapi dan semangat memulai hari. Itu baru rasa malas namanya. Got it?

Comfort Zone = The Most Evil Backstabber

Be aware. Pernah dalam satu perbincangan dengan seorang kawan yang sedang berkunjung dari Inggirs berkata seperti ini, "... the further you get away from yourself, the more challenging it is.". Sederhana, tapi kata-kata itu cukup menohok hati saya dari dalam. Comfort zone memang terlihat begitu menyenangkan untuk dijalani, tapi saat terlena dan hanyut di dalamnya, waktu tak akan berhenti dan mungkin saja jutaan hal telah Anda lewatkan begitu saja. Menyesal? Pasti. Anda menyalahkan comfort zone sebagai biang keladinya? Itu bodoh namanya. Hati-hatilah dengan zona nyaman yang sedang Anda jalani, bukan tidak mungkin diri Anda sendiri yang menusuk dari belakang dan tidak ada siapapun yang bisa disalahkan.

Uncomfortable in Order to be Successful

Mungkin terdengar basi, tapi sebutkan daftar orang sukses yang tidak pernah merasakan ketidak-nyamanan dalam hidup saat meraih kesuksesannya? No one. Bahkan seorang pewaris tahta Kerajaan Inggris pun dituntut ini itu sebelum ia dimahkotai. Apakah Pangeran William selalu merasa nyaman hidup di istana, bergelimang harta dan selalu dikawal selama hidupnya? Who knows? Bagaimana dengan Mark Zuckerberg yang harus rela keluar dari Universitas Harvard di mana jutaan orang belajar mati-matian untuk diterima di sana saat ia memilih untuk membesarkan Facebook?

Rasanya tidak ada kata nyaman saat mereka menjalani itu semua. Dari hasil pemikiran tadi lantas saya menarik sebuah kesimpulan jika comfort zone adalah sebuah dinding yang bisa membuat kehidupan menjadi stagnan. Jalan di tempat, tidak maju, bahkan mundur. Menakutkan bukan? Sangat. Sampai tulisan ini saya buat pun saya masih keringat dingin jika mengingat betapa comfort zone telah menahan langkah saya untuk melakukan hal-hal besar (setidaknya bagi hidup saya sendiri)...

Bagaimana dengan Anda?

sumber:talkmen.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar